BAB
I
Pendahuluan
"Banyak orang yang berambisi ingin mengubah
dunia. Banyak orang yang berambisi untuk mengubah hidup orang lain, tetapi
terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri,"
demikian kata Leo Tolstoy, seorang penulis asal Rusia.
Keberaneragaman yang terdapat di dalam kehidupan berjemaat mulai dari
hal yang kecil sampai yang besar bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat
sehati dalam cara pandang, cara berkir, pengetahuan dan juga karakter. Ketika
dalam suatu diskusi kencenderungan yang terjadi adalah sikap yang saling ingin menang
sendiri, sikap yang mengagap pemikiran yang lain salah dan yang benar adalah
pikirannya sendiri. Dengan cara saling memberikan pertanyaan yang menyimpang dan sedikit mengahakimi.
Begitu pula jika terdapat salah satu saudara yang mengalami jatuh dalam suatu
hal yang salah atau pelanggaran. Maka orang lain akan cepat-cepat menghakimi,
tanpa melihat apa yang sebenarnya yang terjadi.
Tuntutan untuk hidup sempurna seringkali membuat
seseorang bersikap kritis dan menghakimi, bahkan menghukum orang lain.
Seringkali seseorang menilai orang lain dengan ukuran yang sangat ketat,
sementara jika ia menilai dirinya sendiri ukuran itu menjadi sangat longgar.
Ini adalah sikap yang berbahaya, karena jika berpegang kepada kebenaran,
manusia tidak berwenang untuk bersikap demikian. Karena satu-satunya yang
berhak atas penghakiman adalah Allah sendiri. Lalu bagaimana pandangan konsep
penghakiman yang ada di Roma yang terjadi di dalam kehidupan jemaat pada saat
itu?
BAB
II
Definisi
Hakim (Inggris:
Judge;Belanda:
Rechter) adalah pejabat yang
memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman
bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan
dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. [1] Menghakimi berati memeriksa,
mempertimbangkan, memutuskan, mengadili, mengecam, mengkritik, mengomentari,
menilai.
Istilah
Yunani yang digunakan di dalam PB adalah verba Krino dan semua kata turunannya.
Krino dapat bermakna mengadili (to judge), menilai (to evaluate), menentukan
(to decide), menaksir (to assess), membedakan (to distinguish), menyatakan
keadilan (to pronounce judgment), memilih (to select), atau menyukai (to
prefer). Seluruh proses penilaian dinyatakan dengan perkataan/istilah itu, dan
dalam konteks pemakaiannya dapat ditentukan proses atau hasil yang akan
diperoleh.
Paling
tidak ada 5 turunan kata Krino yaitu: anakrino, katakrino krites, krisis dan
krima. Anakrino bermakna "menyelidiki" atau "menyidik"
(investigate, examine), katakrino: "menjatuhkan hukuman" (to condemn,
sentence), krites: "[diangkat] menjadi hakim", krisis: ketentuan
(decision), krima: putusan atau vonnis (verdict). Pada masa PB, istilah -
istilah ini merupakan milik sistem hukum (legal). Pemakaiannya kebanyakan
merujuk proses pengadilan, misalnya mengadukan ke pengadilan, menjatuhkan
hukuman, dan menyiksa (bukan bagian pemeriksaan, tetapi hukuman) . Tetapi
istilah "hakim" bukanlah milik sistem hukum itu sendiri saja. Alkitab
menggunakan semua kata dan turunannya: menilai, menimbang, memutuskan,
menyetujui, dan memilih. Pada umumnya para penerjemah Alkitab menggunakan
padanan kata yang serasih.[2]
Latar Belakang Surat Roma
Pada zaman
Perjanjian Baru Kota Roma merupakan pusat kekaisaran Romawi dan juga sebagai pusat dunia. kota Roma menjadi tempat tinggal banyak bangsa.
Penggalian-penggalian membuktikan bahwa, mula-mula kota Roma adalah tempat
bertemu dan bercampurnya bangsa-bangsa, bukan tempat satu suku bangsa saja.[3]
Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem administrasi Kekaisaran
Romawi menyerap banyak kota, negara, dan bangsa.[4]
Kebudayaan Yunani sangat tinggi sehingga mampu merembesi seluruh daerah
Mediterania bahkan ibu kota penguasa dunia pada saat itu, Roma. Tentang
silang dua kekuasaan ini J. I. Packer menyatakan:
Kekuatan politik Yunani telah berlalu, tetapi budaya dan suasana Yunani
telah menjadi fondasi bagi kebudayaan kekaisaran Romawi, sebagimana seorang
penulis Romawi, Horatius, mengamati bahwa “Orang Yunani yang tertawan telah
menawan penawannya.” Kesenian, literatur, dan gaya pemerintahan Yunani
berkembang dengan subur hampir sepanjang periode Romawi ini. Bahkan
bahasa Yunani koine tetap menjadi bahasa resmi dunia usaha di Timur Dekat, dan Perjanjian
Baru sendiri ditulis dalam bahasa ini. [5]
Jemaat Roma
terdiri atas orang Yahudi (Rm. 4:1; 7:4-6) dan juga orang non-Yahudi (Rm.
1:5,13; 11:13). Kemungkinan besar bahwa jemaat Roma didominasi oleh orang-orang
non-Yahudi. Hal ini dapat dimengerti dari latar belakang kota tersebut. Masalah
yang sulit dipecahkan hingga pada saat ini adalah identitas pendiri jemaat
Roma-dalam surat ini bahkan tidak ditemukan uskup atau pendiri umat
(diaken)-dan kapan jemaat itu mulai berdiri.
Salah satu
hal yang menjadi tujuan dari Paulus untuk pergi ke Roma adalah Dia berusaha
untuk memperbaiki beberapa persoalan yang terjadi di dalam gereja karena sikap
salah orang Yahudi terhadap mereka yang bukan Yahudi (mis. Rom 2:1-29; Rom
3:1,9) dan orang bukan Yahudi terhadap orang Yahudi (Rom 11:11-36).[6]
Dalam bagian ini Paulus membahas mengenai sikap yang dimiliki oleh dua kelompok
orang Kristen yang ada di Roma, mengenai masalah yang telah ditetapkan oleh
agama soal makanan, soal memperhatikan
hari-hari tertentu. Ada orang kristen yang lebih dewasa dalam iman dan ada juga
orang Kriten yang lebih lemah, yang belum memiliki standart yang kokoh hati
nuraninya dan masih mencari-cari jalan. Mereka merasa terganggu dengan sikap
saudara-saudara yang lebih dewasa dan kuat. [7]
perselisihan antar jemaat
Perbedaan
yang terjadi di tengah-tengah jemaat di Romawi mengakibatan suatu perpecahan.
Jemaat yang dewasa di Roma kurang menerima jemaat yang masih terbatas
pengetahuaanya mengeani arti menjadi orang Kristen dan cara hidup orang Kristen. Mereka saling
mengahkimi sendiri, berdasarkan dengan konsep mereka sendiri. Inilah konsep
penghakiman yang salah dalam jemaat di Roma. Orang Kristen yang lemah, mereka
masih dipengaruhi oleh kehidupan lama, sebelum mereka mendengan Injil. Paulus mengungakapkan orang Kristen semacam
ini harus diterima bukan malah menolak mereka. Perbedaan yang terjadi
salahsatunya mengenai pandangan makanan. Bagi orang yang belum mengerti atau
yang masih lemah mereka hanya makan sayur saja, sedangkan orang Kriten yang
sudah dewa menggap bahwa boleh makan semua makanan karena semuanya telah
digenapi oleh Yesus. Jemaat yang kuat secara doktrin mengggap rendah yang belum
mengerti terlebih lagi mereka mengahikimi.
Paulus
menegur bahwa mereka tidak boleh mengahakimi
sesama seiman. Orang yang seperti ini seharusnya dibimbing, diarahkan
diberikan pengajaran yang benar. Orang yang kuat harus menuntun orang yang
lemah. Agar dapat bersama-sama bertumbuh di dalam tubuh Kristus. Meskipun beberapa lemah, dan yang lain kuat, namun semua jemaat harus sehati untuk tidak hidup untuk diri mereka sendiri.
Di dalam hidup kita bukanlah untuk menyenangkan diri sendiri , tetapi untuk
menyenangkan Tuhan. Meskipun jemaat memiliki
kekuatan yang berbeda , kapasitas , dan praktek dalam hal-hal kecil , namun
mereka semua adalah umat Tuhan, semua mencari dan melayani , dan menyerahakan
diri kepada Kristus. [8]
Allah adalah Hakim
Di
dalam keseluruhan Perjanjian Baru ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah Raja.
Konsep ini berakar dari “Kerajaan Allah”. Gambaran tahta Allah yang digunakan di Perjanjian Baru adalah
gambaran yang menggabungkan konsep tentang Raja dan Hakim. Pengertian menegenai
jabatan Raja dan hakim berhubungan
erat. Yesus memiliki pandangan yang sama
mengenai konsep penghakiman dari Allah yang akan datang. Bagi Paulus gagagsan tentang Allah sebagai
hakim merupakan suatu bagian hakiki dari InjilNya. Memang tidak ada keraguan bagi Paulus bahwa
Allah akan menghakimi dunia. Ia berbicara tegas mengenai tahta pengadialan
Allah dan mengunakan sebagai dasar untuk
menunjukan ketidak senangannya terhadap
orang Kristen yang mengahimi saudaranya. Penghakiman, yang tidak dianggap
sebagai suatu yang menyenangkan bagi manusia, merupakan hakikat sifat Allah.
Menurut PB, benar dan layaklah bila Raja Ilahi melaksanaakan penghakiman yang
merupakan hak-Nya yang istimewa.[9]
Pdt.
Stephen Tong menjelaskan bahwa Allah menghakimi berdasarkan kebenaran-Nya yang
sejati yang tidak mentolerir adanya dosa dalam skala sekecil. 9 sarana
penghakiman Allah. Dan dari 9 sarana ini, terdapat sarana-sarana yang
keberadaannya dapat “dielakkan” oleh manusia, seperti: hati nurani, masyarakat,
pemerintah, hukum Taurat, pemberitaan Injil, dan gereja; namun juga terdapat sarana-sarana
yang tidak dapat dihindari oleh manusia, seperti: penghakiman takhta Kristus
bagi para pengikut Kristus, dan penghakiman takhta putih atas perbuatan tiap
pribadi bagi seluruh umat manusia. Selain kedua kelompok penghakiman tersebut,
terdapat pula penghakiman terberat, yang tidak satu pun dari manusia yang telah
jatuh mampu menjalaninya, yaitu penghakiman di atas salib Kristus untuk menebus
seluruh umat manusia.[10]
Penghakiman
adalah hak Allah. Manusia tidak berhak mengahikimi oarang lain dengan
semena-mena. Pengahakiman adalah hak mutlak dari Allah. Dalam Kisah Para rasul
10:42 dikatakan bahwa “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh
bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas
orang-orang hidup dan orang-orang mati. Sebagai sesama umat Allah dan sesama
manusia kita disarankan untuk menegur. Namun dalam menegur harus memiliki
motifasi yang benar. Jika motifasinya tidak baik maka akan cenderung untuk
menghakimi. Ditambah lagi dengan memojokkannya. Hal ini sudah sangat salah dan
ditentang. Jika saudara kita berbuat salah dan tidak menegrti dengan jelas
kapasitas kita adalah menegur bukan menghakimi. Penghakiman bukanlah hak kita.
BAB III
Kesimpulan Dan Refleksi
Dalam
hidup di kalangan dan di dalam ruang lingkupb erjemaat yang terdiri dari berbagai
suku, budaya, watak, tingkat, jurusan dan karakter pasti akan mengalami perbedaan
baik dalam karakter, pola pandanga dan cara berfikir. Jika terdapat saudara kita
yang melakuakn kesalahan dan mendapatkan sangsi janganlah menghakiaminya
terlebih lagi memojokkannnya. Sikap yang benar adalah saling menegur dengan
kasih dan membangun satu dengan yang lainnya, bukan saling menjatuhkan satu dengan
yang lain. Pengahakiman bukannlah hak manusia, karena manusia pada akhirnya
nanti akan menghadap tahta pengadilan Allah. Dimana dosa setitikpun akan diperhitungkan dan manusia
harus dapat memepertanggung jawabkannya di hadapan Allah.
Jangan
sampai karena pengetahuan dan konsep yang berbeda dalam berteologi akan
menyebabkan sikap saling menghakimi. Karena ada perbedaan dalam jumlah iman di
antara orang-orang yang percaya kepada kebenaran Allah, maka sebagai saudara di
dalam Kristus harus berusaha membangun iman sesama dengan saling memperbaiki.
Ini akan membawa pertumbuhan bagi orang yang percaya kepada kebenaran Allah.
Kalau kita sungguh-sungguh hidup bagi Allah dan kebenaranNya, kita semua adalah
umatNya.
Ada saatnya Allah akan menghakimi,
Rom 2:16 : “Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan
Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam
hati manusia, oleh Kristus Yesus.” Manusia tidak tahu apa yang ada di dalam
pikiran namun Allah pun akan
memperhitungknanya. Sebagai sesama tubuh Kristus kita harus dapat menjadi
teladan bagi jemaat lain.
[3] J. I.
Packer dkk, Dunia Perjanjian Baru, (Surabaya:
Yakin-Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 68. “Ada
legenda yang mengatakan bahwa Roma didirikan oleh Aeneas, pejuang dari Troya,
setelah Troya jatuh pada tahun 753 sM. Legenda lain mengatakan, kota Roma
didirikan oleh dua orang keturunannya, Romulus dan Remus, pada tahun 753 Sm”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar