Selasa, 05 November 2013

Konsep Penghakiman Dalam Surat Roma 14:1-7:21 Relevansinya bagi Umat Tuhan Saat Ini




BAB I
Pendahuluan

"Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia. Banyak orang yang berambisi untuk mengubah hidup orang lain, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri," demikian kata Leo Tolstoy, seorang penulis asal Rusia.
Keberaneragaman yang terdapat di dalam kehidupan berjemaat mulai dari hal yang kecil sampai yang besar bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat sehati dalam cara pandang, cara berkir, pengetahuan dan juga karakter. Ketika dalam suatu diskusi kencenderungan yang terjadi adalah sikap yang saling ingin menang sendiri, sikap yang mengagap pemikiran yang lain salah dan yang benar adalah pikirannya sendiri. Dengan cara saling memberikan pertanyaan  yang menyimpang dan sedikit mengahakimi. Begitu pula jika terdapat salah satu saudara yang mengalami jatuh dalam suatu hal yang salah atau pelanggaran. Maka orang lain akan cepat-cepat menghakimi, tanpa melihat apa yang sebenarnya yang terjadi.
Tuntutan untuk hidup sempurna seringkali membuat seseorang bersikap kritis dan menghakimi, bahkan menghukum orang lain. Seringkali seseorang menilai orang lain dengan ukuran yang sangat ketat, sementara jika ia menilai dirinya sendiri ukuran itu menjadi sangat longgar. Ini adalah sikap yang berbahaya, karena jika berpegang kepada kebenaran, manusia tidak berwenang untuk bersikap demikian. Karena satu-satunya yang berhak atas penghakiman adalah Allah sendiri. Lalu bagaimana pandangan konsep penghakiman yang ada di Roma yang terjadi di dalam kehidupan jemaat pada saat itu?
 

BAB II

Definisi
Hakim (Inggris: Judge;Belanda: Rechter) adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. [1]  Menghakimi berati memeriksa, mempertimbangkan, memutuskan, mengadili, mengecam, mengkritik, mengomentari, menilai.
Istilah Yunani yang digunakan di dalam PB adalah verba Krino dan semua kata turunannya. Krino dapat bermakna mengadili (to judge), menilai (to evaluate), menentukan (to decide), menaksir (to assess), membedakan (to distinguish), menyatakan keadilan (to pronounce judgment), memilih (to select), atau menyukai (to prefer). Seluruh proses penilaian dinyatakan dengan perkataan/istilah itu, dan dalam konteks pemakaiannya dapat ditentukan proses atau hasil yang akan diperoleh.
Paling tidak ada 5 turunan kata Krino yaitu: anakrino, katakrino krites, krisis dan krima. Anakrino bermakna "menyelidiki" atau "menyidik" (investigate, examine), katakrino: "menjatuhkan hukuman" (to condemn, sentence), krites: "[diangkat] menjadi hakim", krisis: ketentuan (decision), krima: putusan atau vonnis (verdict). Pada masa PB, istilah - istilah ini merupakan milik sistem hukum (legal). Pemakaiannya kebanyakan merujuk proses pengadilan, misalnya mengadukan ke pengadilan, menjatuhkan hukuman, dan menyiksa (bukan bagian pemeriksaan, tetapi hukuman) . Tetapi istilah "hakim" bukanlah milik sistem hukum itu sendiri saja. Alkitab menggunakan semua kata dan turunannya: menilai, menimbang, memutuskan, menyetujui, dan memilih. Pada umumnya para penerjemah Alkitab menggunakan padanan kata yang serasih.[2]


Latar Belakang Surat Roma
Pada zaman Perjanjian Baru Kota Roma merupakan pusat kekaisaran Romawi dan  juga sebagai pusat dunia. kota Roma menjadi tempat tinggal banyak bangsa. Penggalian-penggalian membuktikan bahwa, mula-mula kota Roma adalah tempat bertemu dan bercampurnya bangsa-bangsa, bukan tempat satu suku bangsa saja.[3] Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem administrasi Kekaisaran Romawi menyerap banyak kota, negara, dan bangsa.[4] Kebudayaan Yunani sangat tinggi sehingga mampu merembesi seluruh daerah Mediterania bahkan ibu kota penguasa dunia pada saat itu, Roma.  Tentang silang dua kekuasaan ini J. I. Packer menyatakan:
Kekuatan politik Yunani telah berlalu, tetapi budaya dan suasana Yunani telah menjadi fondasi bagi kebudayaan kekaisaran Romawi, sebagimana seorang penulis Romawi, Horatius, mengamati bahwa “Orang Yunani yang tertawan telah menawan penawannya.” Kesenian, literatur, dan gaya pemerintahan Yunani berkembang dengan subur hampir sepanjang periode Romawi ini.  Bahkan bahasa Yunani koine tetap menjadi bahasa resmi dunia usaha di Timur Dekat, dan Perjanjian Baru sendiri ditulis dalam bahasa ini. [5]
Jemaat Roma terdiri atas orang Yahudi (Rm. 4:1; 7:4-6) dan juga orang non-Yahudi (Rm. 1:5,13; 11:13). Kemungkinan besar bahwa jemaat Roma didominasi oleh orang-orang non-Yahudi. Hal ini dapat dimengerti dari latar belakang kota tersebut. Masalah yang sulit dipecahkan hingga pada saat ini adalah identitas pendiri jemaat Roma-dalam surat ini bahkan tidak ditemukan uskup atau pendiri umat (diaken)-dan kapan jemaat itu mulai berdiri.
Salah satu hal yang menjadi tujuan dari Paulus untuk pergi ke Roma adalah Dia berusaha untuk memperbaiki beberapa persoalan yang terjadi di dalam gereja karena sikap salah orang Yahudi terhadap mereka yang bukan Yahudi (mis. Rom 2:1-29; Rom 3:1,9) dan orang bukan Yahudi terhadap orang Yahudi (Rom 11:11-36).[6] Dalam bagian ini Paulus membahas mengenai sikap yang dimiliki oleh dua kelompok orang Kristen yang ada di Roma, mengenai masalah yang telah ditetapkan oleh agama  soal makanan, soal memperhatikan hari-hari tertentu. Ada orang kristen yang lebih dewasa dalam iman dan ada juga orang Kriten yang lebih lemah, yang belum memiliki standart yang kokoh hati nuraninya dan masih mencari-cari jalan. Mereka merasa terganggu dengan sikap saudara-saudara yang lebih dewasa dan kuat. [7]
perselisihan antar jemaat
Perbedaan yang terjadi di tengah-tengah jemaat di Romawi mengakibatan suatu perpecahan. Jemaat yang dewasa di Roma kurang menerima jemaat yang masih terbatas pengetahuaanya mengeani arti menjadi orang Kristen  dan cara hidup orang Kristen. Mereka saling mengahkimi sendiri, berdasarkan dengan konsep mereka sendiri. Inilah konsep penghakiman yang salah dalam jemaat di Roma. Orang Kristen yang lemah, mereka masih dipengaruhi oleh kehidupan lama, sebelum mereka mendengan Injil.  Paulus mengungakapkan orang Kristen semacam ini harus diterima bukan malah menolak mereka. Perbedaan yang terjadi salahsatunya mengenai pandangan makanan. Bagi orang yang belum mengerti atau yang masih lemah mereka hanya makan sayur saja, sedangkan orang Kriten yang sudah dewa menggap bahwa boleh makan semua makanan karena semuanya telah digenapi oleh Yesus. Jemaat yang kuat secara doktrin mengggap rendah yang belum mengerti terlebih lagi mereka mengahikimi. 
Paulus menegur bahwa mereka tidak boleh mengahakimi  sesama seiman. Orang yang seperti ini seharusnya dibimbing, diarahkan diberikan pengajaran yang benar. Orang yang kuat harus menuntun orang yang lemah. Agar dapat bersama-sama bertumbuh di dalam tubuh Kristus. Meskipun beberapa lemah, dan yang lain kuat, namun semua jemaat harus sehati untuk tidak hidup untuk diri mereka sendiri. Di dalam hidup kita bukanlah untuk menyenangkan diri sendiri , tetapi untuk menyenangkan Tuhan.  Meskipun jemaat memiliki kekuatan yang berbeda , kapasitas , dan praktek dalam hal-hal kecil , namun mereka semua adalah umat Tuhan, semua mencari dan melayani , dan menyerahakan diri kepada Kristus. [8]
Allah adalah Hakim

Di dalam keseluruhan Perjanjian Baru ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah Raja. Konsep ini berakar dari “Kerajaan Allah”. Gambaran tahta Allah  yang digunakan di Perjanjian Baru adalah gambaran yang menggabungkan konsep tentang Raja dan Hakim. Pengertian menegenai jabatan Raja dan hakim  berhubungan erat.  Yesus memiliki pandangan yang sama mengenai konsep penghakiman dari Allah yang akan datang.  Bagi Paulus gagagsan tentang Allah sebagai hakim merupakan suatu bagian hakiki dari InjilNya.  Memang tidak ada keraguan bagi Paulus bahwa Allah akan menghakimi dunia. Ia berbicara tegas mengenai tahta pengadialan Allah  dan mengunakan sebagai dasar untuk menunjukan  ketidak senangannya terhadap orang Kristen yang mengahimi saudaranya. Penghakiman, yang tidak dianggap sebagai suatu yang menyenangkan bagi manusia, merupakan hakikat sifat Allah. Menurut PB, benar dan layaklah bila Raja Ilahi melaksanaakan penghakiman yang merupakan hak-Nya yang istimewa.[9]
Pdt. Stephen Tong menjelaskan bahwa Allah menghakimi berdasarkan kebenaran-Nya yang sejati yang tidak mentolerir adanya dosa dalam skala sekecil. 9 sarana penghakiman Allah. Dan dari 9 sarana ini, terdapat sarana-sarana yang keberadaannya dapat “dielakkan” oleh manusia, seperti: hati nurani, masyarakat, pemerintah, hukum Taurat, pemberitaan Injil, dan gereja; namun juga terdapat sarana-sarana yang tidak dapat dihindari oleh manusia, seperti: penghakiman takhta Kristus bagi para pengikut Kristus, dan penghakiman takhta putih atas perbuatan tiap pribadi bagi seluruh umat manusia. Selain kedua kelompok penghakiman tersebut, terdapat pula penghakiman terberat, yang tidak satu pun dari manusia yang telah jatuh mampu menjalaninya, yaitu penghakiman di atas salib Kristus untuk menebus seluruh umat manusia.[10]
Penghakiman adalah hak Allah. Manusia tidak berhak mengahikimi oarang lain dengan semena-mena. Pengahakiman adalah hak mutlak dari Allah. Dalam Kisah Para rasul 10:42 dikatakan bahwa “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati. Sebagai sesama umat Allah dan sesama manusia kita disarankan untuk menegur. Namun dalam menegur harus memiliki motifasi yang benar. Jika motifasinya tidak baik maka akan cenderung untuk menghakimi. Ditambah lagi dengan memojokkannya. Hal ini sudah sangat salah dan ditentang. Jika saudara kita berbuat salah dan tidak menegrti dengan jelas kapasitas kita adalah menegur bukan menghakimi. Penghakiman bukanlah hak kita.


BAB III
Kesimpulan Dan Refleksi

Dalam hidup di kalangan dan di dalam ruang lingkupb erjemaat yang terdiri dari berbagai suku, budaya, watak, tingkat, jurusan dan karakter pasti akan mengalami perbedaan baik dalam karakter, pola pandanga dan cara berfikir. Jika terdapat saudara kita yang melakuakn kesalahan dan mendapatkan sangsi janganlah menghakiaminya terlebih lagi memojokkannnya. Sikap yang benar adalah saling menegur dengan kasih dan membangun satu dengan yang lainnya, bukan saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Pengahakiman bukannlah hak manusia, karena manusia pada akhirnya nanti akan menghadap tahta pengadilan Allah. Dimana dosa  setitikpun akan diperhitungkan dan manusia harus dapat memepertanggung jawabkannya di hadapan Allah.
Jangan sampai karena pengetahuan dan konsep yang berbeda dalam berteologi akan menyebabkan sikap saling menghakimi. Karena ada perbedaan dalam jumlah iman di antara orang-orang yang percaya kepada kebenaran Allah, maka sebagai saudara di dalam Kristus harus berusaha membangun iman sesama dengan saling memperbaiki. Ini akan membawa pertumbuhan bagi orang yang percaya kepada kebenaran Allah. Kalau kita sungguh-sungguh hidup bagi Allah dan kebenaranNya, kita semua adalah umatNya.
            Ada saatnya Allah akan menghakimi, Rom 2:16 : “Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.”  Manusia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran  namun Allah pun akan memperhitungknanya. Sebagai sesama tubuh Kristus kita harus dapat menjadi teladan bagi jemaat lain.
 




         [1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hakim
         [2] http://www.effatha.org
         [3] J. I. Packer dkk, Dunia Perjanjian Baru, (Surabaya: Yakin-Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 68. “Ada  legenda yang mengatakan bahwa Roma didirikan oleh Aeneas, pejuang dari Troya, setelah Troya jatuh pada tahun 753 sM. Legenda lain mengatakan, kota Roma didirikan oleh dua orang keturunannya, Romulus dan Remus, pada tahun 753 Sm”
         [4] John Staumbaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 197
         [5] J.I. Packer, Dunia Perjanjian Baru, hlm. 64-65
         [6] www.sabda.org
         [7] _____________, Tafsiran Alkitab Wycliffe (Malang : Gandum Mas, 2008) 586
         [8] Matthew Henry’s Concise Commentary, http://www.christnotes.org. Pada 05 nopember 2013
         [9]Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008 ) 59-61
         [10] Pdt. Dr. Stephen Tong, Dosa, Keadilan, & Penghakiman (surabaya: momentum, 1993) 145-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar